Tampilkan postingan dengan label ISLAMI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ISLAMI. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Maret 2011

MEMBENTUK KELUARGA ISLAMI

Mayoritas manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketanangan 
jiwa. Tentu pula semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. 
Terlebih dalam lingkngan keluarga. Ingatlah semua ini tak akan terwujud kecuali dengan iman 
kepada Allah, tawakal dan mengembalikan semua masalah kepadaNya, disamping melakukan 
berbagai usaha yang sesuai dengan syari'at.

Pentingnya Keharmonisan Keluarga Yang paling berpengaruh buat pribadi dan 
masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Allah dengan 
hikmahNya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal 
dengan tentram di dalamnya. 
FirmanNya: "dan diantara tanda-tanda kekuasanNya adalah Dia mencipatakan untukmu 
istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram 
kepadanya dan diajadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang 
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21)

Ya.supaya engkau cenderung dan merasa tentram kepadanya (Allah tidak mengatakan: 
'supaya kamu tinggal bersamanya'). Ini menegaskan makna tenang dalam perangai dan jiwa
serta menekankan wujudnya kedamaian dalam berbagai bentuknya.

Maka suami istri akan mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan 
dan mendapati kelapangan di saat dihampiri kesempitan. Sesungguhnya pilar hubungan 
suami istri adalah kekerabatan dan pershabatan yang terpancang di atas cinta dan kasih sayang. 
Hubungan yang mendalam dan lekat ini mirip dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. 
Al Qur'an menjelaskan: 

"Mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian baginya." (Al Baqarah: 187)
 
Terlebih lagi ketika mengingat apa yang dipersiapkan bagi hubungan ini misalnya; pendidikan 
anak dan jaminan kehidupan, yang tentu saja tak akan terbentuk kecuali dalam atmosfir keibuan 
yang lembut dan kebapakan yang semangat dan serius. Adakah di sana komunitas yang lebih
bersih dari suasana hubungan yang mulia ini?

Pilar Peyangga Keluarga Islami
1. Iman dan Taqwa
Faktor pertama dan terpenting adalah iman kepada Alloh dan hari akhir, takut kepada 
Dzat Yang memperhatikan segala yang tersembunyi serta senantiasa bertaqwa dan 
bermuraqabbah (merasa diawasi oleh Allah) lalu menjauh dari kedhaliman dan kekeliruan 
di dalam mencari kebenaran.
"Demikian diberi pengajaran dengan itu, orang yang beriman kepada Alloh dan 
hari akhirat. Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Dia kan 
mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia kan memberinya rezeki dari arah yang 
tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya 
Allah akan mencukupkan keperluannya." (Ath Thalaq: 2-3)

Di antara yang menguatkan tali iman yaitu bersungguh-sungguh dan serius dalam ibadah 
serta saling ingat-mengingatkan. Perhatikan sabda Rasululloh:
"Semoga Alloh merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan 
membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya 
air ke wajahnya. Dan semoga Alloh merahmati istri yang bangun malam hari lalu 
shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka 
dipercikkannya air ke wajahnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, Ibnu Majah).

Hubungan suami istri bukanlah hubungan duniawi atau nafsu hewani namun berupa interaksi jiwa 
yang luhur. Jadi ketika hubungan itu shahih maka dapat berlanjut ke kehidupan akhirat kelak.
FirmanNya: 
"Yaitu surga 'Adn yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang 
shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya." (Ar Ra'du: 23)
 
2. Hubungan Yang Baik
Termasuk yang mengokohkan hal ini adalah pergaulan yang baik. Ini tidak akan tercipta kecuali 
jika keduanya saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
Mencari kesempurnaan dalam keluarga dan aggotanya adalah hal mustahil dan merasa frustasi 
dalam usaha melakukan penyempurnan setiap sifat mereka atau yang lainnya termasuk sia-sia juga.

3. Tugas Suami
Seorang suami dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah 
secara fisik atau pribadinya. Jika ia dituntut untuk melakukan segala sesuatu maka ia akan buntu.
Teralalu berlebih dalam meluruskannya berarti membengkokkannya dan membengkokkannya 
berarti menceraikannya. Rasululloh bersabda:  
"Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari 
tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. 
Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan seandainya 
kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik." 
 (HR. Bukhari, Muslim)

Jadi kelemahan wanita sudah ada sejak diciptakan, jadi bersabarlah untuk menghadapinya. 
Seorang suami seyogyanya tidak terus-menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan 
keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan 
niscaya akan banyak sekali.

Dalam hal ini maka berperilakulah lemah lembut. Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang 
dibencinya maka tidak tahu lagi dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. 
Allah berfirman;  
"Dan bergaullah bersama mereka dengan patut. Kemudian jika kamu tidak 
menyukai mereka maka bersabarlah Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu 
padahal Allah menjadikannya kebaikan yang banyak." (An Nisa': 19)

Apabila tidak begitu lalu bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman, kedamaian dan cinta 
kasih itu: jika pemimpin keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek pergaulannya, 
sempit wawasannya, dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah, jika masuk terlalu 
banyak mengungkit-ungkit kebaikan dan jika keluar selalu berburuk sangka.

Padahal sudah dimaklumi bahwa interaksi yang baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah 
tercipta kecuali dengan kelembutan dan menjauhakan diri dari prasangka yang tak 
beralasan. Dan kecemburuan terkadang berubah menjadi prasangka buruk yang 
menggiringnya untuk senantiasa menyalah tafsirkan omongan dan meragukan segala 
tingkah laku. Ini tentu akan membikin hidup terasa sempit dan gelisah dengan tanpa alasan 
yang jelas dan benar.

4. Tugas Istri
Kebahagiaan, cinta dan kasih sayang tidaklah sempurna kecuali ketika istri mengetahui kewajiban 
dan tiada melalaikannya. Berbakti kepada suami sebagai pemimpin, pelindung, penjaga 
dan pemberi nafkah. Taat kepadanya, menjaga dirinya sebagi istri dan harta suami. 
Demikian pula menguasai tugas istri dan mengerjakannya serta memperhatikan diri dan rumahnya.

Inilah istri shalihah sekaligus ibu yang penuh kasih sayang, pemimpin di rumah suaminya 
dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Juga mengakui kecakapan suami 
dan tiada mengingkari kebaikannya. Untuk itu seyogyanya memaafkan kekeliruan 
dan mangabaikan kekhilafan. Jangan berperilaku jelek ketika suami hadir dan jangan 
mengkhianati ketika ia pergi.

Dengan ini sudah barang tentu akan tercapai saling meridhai, akan langgeng hubungan, 
mesra, cinta dan kasih sayang. Dalam hadits: 
"Perempuan mana yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka 
ia masuk surga." (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu Majah)
 
Maka bertaqwalah wahai kaum muslimin! Ketahuilah bahwa dengan dicapainya 
keharmonisan akan tersebarlah semerbak kebahagiaan dan tercipta suasana yang kondusif 
bagi tarbiyah.

Selain itu tumbuh pula kehidupan di rumah yang mulia dengan dipenuhi cinta kasih 
dan saling pengertian anatar sifat keibuan yang penuh kasih sayang dan kebapakan 
yang tegas, jauh dari cekcok, perselisihan dan saling mendhalimi satu sama lain. 
Juga tak ada permusuhan dan saling menyakiti. 

Penutup
Lurusnya keluarga menjadi media untuk menciptakan keamanan masyarakat. 
Bagaimana bisa aman bila ikatan keluarga telah amburadul. Padahal Allah memberi 
kenikmatan ini yaitu kenikmatan kerukunan keluarga, kemesraan dan keharmonisannya.
Hubungan suami istri yang sangat solid dan fungsinya sebagai orang tua di tambah 
anak-anaknya yang tumbuh dalam asuhan mereka, merupakan gambaran umat terkini 
dan masadepan. Karena itu ketika setan berhasil menceraikan hubungan keluarga dia 
tidak sekadar menggoncangkan sebuah keluarga namun juga menjerumuskan masyarakat 
seluruhnya ke dalam kebobrokan yang merajalela. Realita sekarang menjadi bukti.
Semoga Allah merahmati pria yang perilakunya terpuji, baik hatinya, 
pandai bergaul (terhadap keluarga), lemah lembut, pengasih, penyayang, tekun, 
tidak berlebihan dan tiada lalai dengan kewajibannya. Semoga Allah merahmati pula 
wanita yang tidak mencari-cari kekeliruan, tidak cerewet, shalihah, taat dan memelihara 
dirinya ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memeliharanya.

Bertaqwalah wahai kaum muslimin, wahai suami istri. Barang siapa yang bertaqwa 
kepada Alloh niscaaya akan dimudahkan urusannya.
(Syeikh Shalih bin Abdullah bin Al Humaid).

Minggu, 06 Februari 2011

Menjaga Iman dengan Ilmu



Pagi itu, Rasulullah bergegas menuju keramaian. Setelah sampai, menceritakan kejadian luar biasa yang dialaminya tadi malam. Beliau bercerita, Tadi malam, Jibril datang padaku. Ia mengajakku pergi ke suatu tempat. Didatangkan untukku seekor binatang yang berbentuk lebih besar dari keledai, langkahnya sejauh pandangan matanya. Aku menungganginya dengan disertai Jibril.
Sejenak setelah kami dibawa terbang oleh Buraq, aku disuruh Jibril turun untuk melakukan shalat, lalu berkatalah beliau kepadaku, Tahukah engkau bahwa engkau shalat di Thaibah (Madinah) dan disitulah engkau kelak berhijrah. Kemudian perjalanan dilanjutkan, di suatu tempat Jibril menyuruhku turun untuk shalat. 'Inilah Thuur Sina, tempat Musa bercakap-cakap langsung dengan Tuhannya,' kata Jibril kepadaku.
Untuk ketiga kalinya sebelum kami sampai ke tempat tujuan, Jibril menyuruhku turun lagi dan melakukan shalat. Setelah selesai shalat berkatalah beliau kepadaku, Tahukah di mana engkau shalat kali ini? Engkau shalat di Baitlehem, tempat Isa putra Maryam dilahirkan. Kemudian masuklah aku ke Baitul Maqdis di mana telah berkumpul nabi-nabi dan bersama kami melakukan shalat berjamaah. Oleh Jibril aku di kedepankan untuk menjadi Imam. Setelah itu kami menuju langit yang paling tinggi, ungkapnya.
Demi mendengar cerita itu, ramailah orang-orang yang dari tadi berkumpul. Kamu bohong Muhammad, bagaimana mungkin kamu pergi ke Baitul Maqdis, kemudian ke langit hanya dalam semalam, teriak seseorang musyrik. Lihatlah wahai para pengkhianat Latta dan 'Uzza, orang yang menurutmu Nabi, ternyata hanya seorang pembual, teriak yang lain.
Ya Rasulullah, benarkah apa yang engkau ceritakan itu? tanya salah seorang sahabat. Benar, jawab Rasul mantap. Tapi, apakah mungkin? ujar sahabat tadi dalam hatinya.
Seseorang pergi menemui Abu Bakar menanyakan pendapatnya tentang cerita Rasulullah. Dengan mantap Abu Bakar menjawab, Aku mempercayainya tentang hal-hal yang lebih aneh dari itu, aku mempercayainya tentang kabar-kabar langit yang dibawanya (Rasulullah) di waktu pagi maupun senja.
Kisah ini menunjukkan respons orang Mekah terhadap peristiwa Isra Mi'raj. Menurut nalar, tidak mungkin perjalanan dari Mekah ke Yerussalem yang begitu jauh, hanya dalam semalam. Apalagi setelah itu, pergi ke langit yang tertinggi, sangat sulit dipahami. Ada tiga respons kaum mukminin terhadap peristiwa ini, yaitu tetap beriman, ragu-ragu dan kembali kafir. Abu Bakar adalah salah seorang yang tetap beriman. Tanpa ragu sedikit pun ia membenarkan peristiwa tersebut. Kesaksian inilah yang membuat Abu Bakar dijuluki Ash Shiddiq (orang yang benar). 

Iman itu diuji
Keimanan pasti diuji. Difirmankan, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (QS Al 'Ankabuut [29]: 2-3).
Ujian ini dimaksudkan untuk mengetahui siapa saja orang yang benar-benar beriman dan yang berbohong. Ujian juga berfungsi sebagai tes kenaikan iman. Apabila mampu melewati ujian itu, dapat dipastikan iman kita bertambah. Sebaliknya, apabila tidak mampu, maka keimanan berkurang bahkan hilang sama sekali. Seperti yang ditunjukkan sebagian sahabat setelah mendengar kisah Isra Mi'raj. Sebagian mereka ada yang ragu-ragu, bahkan kembali pada kekafiran.
Semua peristiwa dalam kehidupan adalah ujian keimanan. Rezeki yang mudah didapatkan, atau yang sulit didapat. Doa terkabul atau yang tidak dikabul. Harta yang banyak atau sedikit. Anak saleh atau salah. Longsor, gempa, banjir, dan lain-lain. Semuanya adalah ujian. Penyikapan terhadap ujian menentukan termanfaatkan atau tidak ujian untuk kenaikan iman. Sikap Abu Bakar patut diteladani. Ia mampu melewati ujian Isra Mi'raj dan memanfaatkannya untuk menambah keimanan. Apa yang membuatnya tetap beriman? 


Ilmu menjaga keimanan 

Dibanding sahabat lain, Abu Bakar lebih dekat dengan Rasulullah SAW. Abu Bakar telah mengenalnya sejak muda. Ia tahu sahabatnya tidak pernah berdusta. Ia selalu jujur dan amanah. Orang-orang Quraisy menjuluki sahabatnya, Al 'Amin (yang tepercaya). Sehingga, ketika Rasulullah menceritakan Isra Mi'raj, dengan mantap ia percaya. Bahkan, ia akan percaya, kalau Rasulullah menceritakan yang lebih aneh dari itu.
Kunci keterjagaan iman Abu Bakar terletak pada pengenalannya yang dalam terhadap Rasulullah. Sahabat lain yang ragu-ragu atau murtad tidak terlalu mengenal Rasul. Semakin dalam pengenalan, semakin kuat keimanannya. Sebaliknya, semakin lemah pengenalan, semakin lemah pula keimanannya. Dengan kata lain ilmu atau pengetahuan terhadap sesuatu akan menjaga atau menambah kepercayaan terhadap sesuatu itu.
Karena itu, ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Banyak ayat Alquran yang mendorong orang beriman untuk berilmu. Bahkan, dalam salah satu ayat, Allah menjelaskan bahwa ilmu mendahului iman. Artinya, seseorang akan beriman, manakala ia berilmu terlebih dahulu. Firman-Nya, Dan, agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa Alquran itulah yang benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk (QS Al Hajj [22]: 54).
Ayat ini menunjukkan urutan, dimulai dengan berilmu, lalu beriman dan kemudian hatinya tunduk. Ilmu akan menghasilkan keimanan dan keimanan akan menghasilkan ketundukkan dan kekhusyukkan, yang satu mempengaruhi yang lain. Demikian penjelasan Yusuf Al Qaradhawi.
Ilmu apa saja yang dapat menghasilkan, menjaga dan menambah keimanan? Sa'id Hawwa menjelaskan ada tiga ilmu yang harus dimiliki orang beriman, yaitu ilmu mengenal Allah, ilmu mengenal Rasulullah SAW dan ilmu mengenal Islam. Tiga ilmu ini yang disebut ilmu asasi (ilmu pokok). Diharapkan orang yang memiliki ketiga ilmu tadi dapat memelihara dan meningkatkan keimanannya. Wallaahu a'lam.

(MQ, Jumat, 18 Agustus 2006)